Konteks Budaya
Lokasi pengambilan data dalam penelitian umpasa ini yaitu di Desa Sigodang, Kecamatan Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Bahasa yang digunakan penduduk sehari-harinya adalah bahasa Simalungun Asli. Artinya, bahasa Simalungun tersebut tidak terkontaminasi dengan bahasa batak lainnya, ataupun bahasa Indonesia.
Penutur dan audiens saling melengkapi dalam menuturkan umpasa ini. Jika seorang penutur menuturkan umpasa pernikahan tersebut, maka audiens akan ikut mengamininya, dengan mengucapkan imma tutu (amin). Hal ini melengkapi berkat atau cita-cita Si penutur umpasa tersebut, yaitu mengaharapkan anak tersebut segera mendapatkan jodoh.
Orang yang menuturkan umpasa ini adalah orang tua, pihak oppung (kakek dan nenek) dan pihak tulang (paman dan bibi). Audiens dalam penuturan umpasa ini adalah kerabat keluarga terdekat yang diundang hadir. Pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.
Penuturan umpasa ini dilatar belakangi oleh sistem kebudayaan yang ketat. Menikah merupakan suatu kewajiban di masyarakat Simalungun. Jika seorang garama (pemuda/pemudi) belum menikah pada usia yang sudah cukup matang, akan menjadi buah bibir di masyarakat, karena pernikahan dalam masyarakat Simalungun adalah kebanggaan dalam sebuah keluarga.
Setiap orang tua ataupun keluarga dekat akan merasa sedih, jika salah seorang anaknya belum menikah pada usia yang sudah cukup matang. Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya sistim budaya Simalungun tersebut. Misalnya, orang tua yang sudah lanjut usia akan merasa bangga jika sudah memiliki cucu dari anak-anaknya, karena orang tersebut akan mendapat panggilan baru dalam masyarakat. Misalnya, Opungnya Si Anu (Kakenya Si Anu).
Selain itu di dalam masyarakat Simalungun ada gelar yang disebut dengan istilah Sayur Matua. Artinya, orang yang hidup panjang umur dan penuh berkat. Karena selain panjang umur, orang tersebut dapat menyaksikan seluruh anak dan putrinya berumah tangga, hingga memiliki cucu (hingga generasi ketiga). Orang yang meninggal dalam sayur matua bukanlah sebuah kesedihan melainkan sebuah kebahagiaan dalam keluarga. Pada hajatan kematian tersebut, pihak anak akan merayakan hajatan “sukacita”. Akan ada juga jamuan akbar untuk seluruh penduduk desa, musik tradisional ataupun musik modern serta upacara adat yang panjang (biasanya dua sampai tiga hari berturut-turut). Jika seseorang meninggal dalam keadaan tidak sayur matua, hajatan tersebut tidak bisa dilakukan, karena bagian dari kesedihan “duka cita”. Cita-cita menjadi manusia yang sayur matua tersebutlah yang menjadikan pernikahan dalam sebuah keluarga Simalungun menjadi sebuah kebanggaan.
Biasanya seorang garama (anak muda) akan ikut menari pada saat acara rondang bintang (pesta anak muda rakyat Simalungun). Pada saat manortor (menari), seorang laki-laki akan berusaha keras agar suri-surinya (ulos) dapat diletakkan di atas bahu kanan perempuan (calon pasangannya) sambil menari bersama. Pasangan perempuan akan berusaha keras menolak sambil manortor (menari). Kalau ternyata suri-suri (ulos) berhasil diletakkan di bahu kanan si perempuan, berarti si perempuan setuju untuk membentuk pernikahan yang disaksikan khalayak ramai. Pada saat acara inilah seorang laki-laki mengamalkan umpasa tersebut. Sehingga si laki-laki tidak hanya melihat kecantikan, tetapi lebih mengutamakan tingkah laku.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat penutur yang peneliti lihat dan teliti, dari kemampuan ekonomi, maupun tingkat pendidikan digolongkan kedalam masyarakat menengah kebawah, namun sebagian besar golongan masyarakat ke bawah. Untuk golongan masyarakat menengah ke atas masih sangat jarang sekali. Masyarakat penutur mayoritas menopang hidupnya dengan mengolah kebun (bertani) dengan cara-cara tradisional.
Pendidikan masyarakat penutur sebagian besar lulusan SMP. Namun, hal ini semakin hari semakin berubah. Perkembangan zaman meningkatkan kesadaran masyarakat penutur semakin tinggi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Generasi penutur sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi
Artikel Terkait (Skripsi)
Penutur dan audiens saling melengkapi dalam menuturkan umpasa ini. Jika seorang penutur menuturkan umpasa pernikahan tersebut, maka audiens akan ikut mengamininya, dengan mengucapkan imma tutu (amin). Hal ini melengkapi berkat atau cita-cita Si penutur umpasa tersebut, yaitu mengaharapkan anak tersebut segera mendapatkan jodoh.
Orang yang menuturkan umpasa ini adalah orang tua, pihak oppung (kakek dan nenek) dan pihak tulang (paman dan bibi). Audiens dalam penuturan umpasa ini adalah kerabat keluarga terdekat yang diundang hadir. Pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.
Penuturan umpasa ini dilatar belakangi oleh sistem kebudayaan yang ketat. Menikah merupakan suatu kewajiban di masyarakat Simalungun. Jika seorang garama (pemuda/pemudi) belum menikah pada usia yang sudah cukup matang, akan menjadi buah bibir di masyarakat, karena pernikahan dalam masyarakat Simalungun adalah kebanggaan dalam sebuah keluarga.
Setiap orang tua ataupun keluarga dekat akan merasa sedih, jika salah seorang anaknya belum menikah pada usia yang sudah cukup matang. Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya sistim budaya Simalungun tersebut. Misalnya, orang tua yang sudah lanjut usia akan merasa bangga jika sudah memiliki cucu dari anak-anaknya, karena orang tersebut akan mendapat panggilan baru dalam masyarakat. Misalnya, Opungnya Si Anu (Kakenya Si Anu).
Selain itu di dalam masyarakat Simalungun ada gelar yang disebut dengan istilah Sayur Matua. Artinya, orang yang hidup panjang umur dan penuh berkat. Karena selain panjang umur, orang tersebut dapat menyaksikan seluruh anak dan putrinya berumah tangga, hingga memiliki cucu (hingga generasi ketiga). Orang yang meninggal dalam sayur matua bukanlah sebuah kesedihan melainkan sebuah kebahagiaan dalam keluarga. Pada hajatan kematian tersebut, pihak anak akan merayakan hajatan “sukacita”. Akan ada juga jamuan akbar untuk seluruh penduduk desa, musik tradisional ataupun musik modern serta upacara adat yang panjang (biasanya dua sampai tiga hari berturut-turut). Jika seseorang meninggal dalam keadaan tidak sayur matua, hajatan tersebut tidak bisa dilakukan, karena bagian dari kesedihan “duka cita”. Cita-cita menjadi manusia yang sayur matua tersebutlah yang menjadikan pernikahan dalam sebuah keluarga Simalungun menjadi sebuah kebanggaan.
Biasanya seorang garama (anak muda) akan ikut menari pada saat acara rondang bintang (pesta anak muda rakyat Simalungun). Pada saat manortor (menari), seorang laki-laki akan berusaha keras agar suri-surinya (ulos) dapat diletakkan di atas bahu kanan perempuan (calon pasangannya) sambil menari bersama. Pasangan perempuan akan berusaha keras menolak sambil manortor (menari). Kalau ternyata suri-suri (ulos) berhasil diletakkan di bahu kanan si perempuan, berarti si perempuan setuju untuk membentuk pernikahan yang disaksikan khalayak ramai. Pada saat acara inilah seorang laki-laki mengamalkan umpasa tersebut. Sehingga si laki-laki tidak hanya melihat kecantikan, tetapi lebih mengutamakan tingkah laku.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat penutur yang peneliti lihat dan teliti, dari kemampuan ekonomi, maupun tingkat pendidikan digolongkan kedalam masyarakat menengah kebawah, namun sebagian besar golongan masyarakat ke bawah. Untuk golongan masyarakat menengah ke atas masih sangat jarang sekali. Masyarakat penutur mayoritas menopang hidupnya dengan mengolah kebun (bertani) dengan cara-cara tradisional.
Pendidikan masyarakat penutur sebagian besar lulusan SMP. Namun, hal ini semakin hari semakin berubah. Perkembangan zaman meningkatkan kesadaran masyarakat penutur semakin tinggi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Generasi penutur sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi
Artikel Terkait (Skripsi)
Good Info
BalasHapus