Jenis dan Aspek-aspek dalam Kritik Sastra
Aspek-aspek dalam sebuah kritik sastra meliputi: informasi; analisis; interpretasi; dan penilaian. Misalnya saja dalam esai “Sastra yang Tidur dalam Kulkas” karya Saut Situmorang adalah sebuah kritik sastra. karena dalam tulisan tersebut sudah terdapat aspek-aspek di atas. Untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam pembahasan di bawah ini.
Informasi: ini terlihat pada paragraf pertama. Yang berisi; ”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03).
Analisis: ini dimulai pada pragraf ke dua sampai paragraf lima. Yang berisi; Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!
Interpretasi: ini terlihat pada paragraf yang ke enam. Yang berisi; Kalau asensi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!
Penilaian: ini terlihat pada paragraf terakhir. Yang berisi; Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.
Kritik sastra “Sastra yang tidur di dalam kulkas” termasuk dalam jenis: Menurut bentuknya termasuk kedalam kritik sastra terapan, karena penulis menerapkan teori-teori yang ada dalam kritik sastra tersebut secara eksplisit. Menurut pelaksanaannya termasuk ke dalam kritik sastra inpresionistik, karena penulis melakukan analisis, interpretasi dan penilaian, berangkat dari fenomena-fenomena yang ada dalam karya itu secara objektif. Menurut orientasi kritik termasuk ke dalam kritik sastra ekspresif, karena di sini penulis menimbang karya sastra tersebut berdasarkan kecocokan dalam jiwa dan pikirannya. Menurut objek kritik termasuk ke dalam kritik puisi: penulis di sini menganalisis sebuah puisi yang dianggapnya sebuah karya sastra yang mengarah kepada politik sastra. Menurut sifatnya termasuk kedalam kritik non-akademik, karena penulis tidak terpaku dalam suatu format seperti yang terdapat dalam petunjuk teknik penulisan ilmia Ferdinaen Saragih.
Sastra Lainnya
Informasi: ini terlihat pada paragraf pertama. Yang berisi; ”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03).
Analisis: ini dimulai pada pragraf ke dua sampai paragraf lima. Yang berisi; Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!
Interpretasi: ini terlihat pada paragraf yang ke enam. Yang berisi; Kalau asensi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!
Penilaian: ini terlihat pada paragraf terakhir. Yang berisi; Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.
Kritik sastra “Sastra yang tidur di dalam kulkas” termasuk dalam jenis: Menurut bentuknya termasuk kedalam kritik sastra terapan, karena penulis menerapkan teori-teori yang ada dalam kritik sastra tersebut secara eksplisit. Menurut pelaksanaannya termasuk ke dalam kritik sastra inpresionistik, karena penulis melakukan analisis, interpretasi dan penilaian, berangkat dari fenomena-fenomena yang ada dalam karya itu secara objektif. Menurut orientasi kritik termasuk ke dalam kritik sastra ekspresif, karena di sini penulis menimbang karya sastra tersebut berdasarkan kecocokan dalam jiwa dan pikirannya. Menurut objek kritik termasuk ke dalam kritik puisi: penulis di sini menganalisis sebuah puisi yang dianggapnya sebuah karya sastra yang mengarah kepada politik sastra. Menurut sifatnya termasuk kedalam kritik non-akademik, karena penulis tidak terpaku dalam suatu format seperti yang terdapat dalam petunjuk teknik penulisan ilmia Ferdinaen Saragih.
Sastra Lainnya
Posting Komentar untuk "Jenis dan Aspek-aspek dalam Kritik Sastra"