Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 2)

Sambungan Cerpen Menjelma Pemimpin bag 1
Kenapa aku jadi menyalahkan dunia, apa salah dunia? dunia tidak pernah bersalah. Akunya saja yang sinting. Aku belum berperang, kenapa aku sudah merasa kalah? Pemilihan masih lama lagi, aku harus terus berupaya mempengaruhi penduduk desa ini. tak ada jalan lain kecuali menemui pak RT. Aku tak perduli lagi, walaupun pak RT bakalan marah-marah dan mengusirku dari rumahnya, karena dituduh memfitnah orang.

“dasar tolol, jalan keruamhkukan bukan dari sini!” wujud pak Narto itu telah membuatku gila. Setiba di rumah, aku monar-mandir, Pikiranku rapuh. Aku bagaikan sebatang lidi yang harus membersihkan sebuah taman. Tapi kenapa aku begitu berhasrat ingin menjatuhkan pak Narto itu. Apakah karena dendamku di masa lalu? Ah, bukan karena itu, tapi karena aku tidak menyukai kelakuannya berpertualang di kota bersama wanita-wanita yang dia bayar jutaan rupiah. bagaimana mungkin dia bisa menjadi pemimpin yang berbudi luhur? Mungkin, dia juga akan menggunakan uang rakyat untuk membeli wanita lebih banyak lagi.

Di antara penantianku menjelang malam, tak sabar lagi untuk bertemu pak RT, rasanya seperti setahun saja. kulihat jam sudah mendekati jam delapan malam.

“aku harus pergi!” ucapku.

Setiba di sana, bu RT langsung mempersilahkanku masuk. kebetulan pak RTnya lagi duduk-duduk di kursi tamu, sedang istirahat.

“Ada perlu apa malam-malam?”ucanya. “Begini pak, kedatangan saya kesini untuk memberitahu kepada bapak, kalau pak Narto itu bukan seperti orang yang kita kira selama ini, dia manusia bejat, saya sering melihatnya di sudut malam bersama wanita-wanita jalang yang bukan istrinya, di kota tempat saya bekerja!”

“Ngomong apa kamu ini? datang-datang sudah memfitnah orang. Keluar sana” ucap pak RT “Tapi pak!” ucapku lagi “Keluar saya bilang!” suara pak RT semakin meninggi.
“Jangan marah dulu dong pak! Mungkin saja kelakuan pak Narto benar begitu, kitakan tidak kenal dengan dia, dia datang ke desa ini hanya berkampanye, kelakuannya yang sebenarnyakan kita tidak tau” ucap bu RT membelaku.

“Baiklah, kalau kamu bisa membuktikannya, saya akan mengumumkan kepada penduduk desa, tapi kalau kamu tidak bisa membuktikannya, kamu harus berhadapan dengan polisi, karena kamu telah memfitnah orang.”

“Baik!” ucapku lantang

Seminggu setelah kejadian itu, aku mengajak pak RT pergi ke kota, dan menunjukkan tempat kucing garong itu biasa nongkrong. Aku sangat khawatir, bagaimana kalau pak Narto tidak datang malam ini, apalagi pak RT mengomel saja mulai dari tadi. dia bagaikan cacing kepanasan.

Tak lama, mobil pak Narto muncul, dia di temani dua wanita muda yang dirangkulknya dengan mesra. Hatiku puas, tenang, jantungku mulai normal lagi. Tapi kulihat wajah pak RT merah padam.

“Kita pulang saja, ternyata aku selama ini telah salah besar, bisa-bisanya aku terpengaruh dengan bajingan seperti dia, padahal bapak mantan kepala desa juga mencalon menjadi pemimpin di desa ini, tapi Kenapa aku malah mendukung orang yang tidak kukenal, manusia macam apa aku ini?” dalam perjalanan pulang, aku hanya diam, mendengarkan pak RT itu berbicara sendiri, tentang ketololannya.

Jam enam pagi aku terbangun, mendengar suara mikropon yang menggema kuat di telingaku, dan itu mengganggu tidurku yang pulas tanpa beban. Ternyata pak RT mengumumkan supaya penduduk desa mendukung mantan kepala desa dalam pemilu besok. Aku bangkit dari tidurku, beban pikiran yang selama ini membuatku sinting, lenyap tanpa sisa, sepertinya aku sudah menemukan kemenangan.

Warung kopi, tempat-tempat nongkrong bahkan persawahan telah sibuk membicarakan tentang kelakuan pak Narto yang bejat. “Darimana mereka tau? apa mungkin pak RT mengumumkannya? sepertinya dalam pengumuman tadi dia tidak ada menyebut-nyebut pak Narto.” setelah saya tanyakan kepada salah satu warga, ternyata bu RT telah mengatakannya kepada ibu-ibu arisan, sehingga berita itu dengan mudahnya menyebar bagaikan jamur.

Pada pemilihan itu, saya memperhatikan pak Narto senyam-senyum. Dia bagaikan tidak ada beban, serasa dia sudah yakin menang. Dia angkat tangan kanananya dan menyebut-nyebut nama partainya berulang kali.

“Masih sempat-sempatnya dia mempengaruhi penduduk saat pemilihan begini” ucap pak RT menemuiku. “biarkan saja pak, saya yakin dalam pemilihan ini dia tidak akan menang.”

Saat penghitungan suara, wajahnya pucat tanpa gerak, tidak seperti sebelumnya. Senyumannya hilang secepat kilat. Semakin dia gelisah, semakin puas jiwaku. Ternyata dendamku masih meninggalkan sisa yang mendalam, ketika dulu, dia mempersunting wanita yang pernah berlabuh di hatiku menjadi istri mudanya. itu juga karena dipaksa orang tuanya, hanya karena uang yang di janjikan hidung belang itu. (Penulis: Ferdinaen Saragih, Bandung, 2009)

Cerpen Lainnya

4 komentar untuk "Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 2)"

  1. kalo tentang cint-cintaanmah saya trtarik gan..
    maaf gan kalo ctkannya udah kluar belum??

    BalasHapus
  2. alur ceritanya cukup menghibur, salam

    BalasHapus
  3. cerita yg seru...
    masih ada sambungannya nggk ?

    BalasHapus