Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Anak Muda bag 1

Cerpen Anak Muda. Lima tahun Sudah, aku berstatus pengangguran. Semenjak tamat dari SMA, aku terlalu tergesa-gesa merantau ke kota ini. “kota Metropolitan!” kata mereka. Meskipun biaya untuk keseharianku selalu on-time di kirim dari Sumatra sana, tapi tetap saja hatiku gusar. Andai saja uang itu di kirim dari pundi-pundi kekayaan bapakku, mungkin aku takan segusar ini. Tapi aku tau persis, untuk mendapatkan uang itu, ibuku harus menjelajah di desa itu, mengetuk pintu-pintu rumah, dari ujung desa ke ujung desa, yang tergolong berada.

Ketika kutinggalkan desaku lima tahun lalu, ibuku sudah tinggal sendiri. Semenjak enam tahun lalu, Aku sudah tidak punya bapak lagi. Bapakku entah kemana di kirim Tuhan. sampai saat ini, aku belum yakin, kalau bapakku sudah mati.

Bapakku tenggelam di pusaran Danau Toba, bersama ferry yang ditumpangi menuju Samosir.

“Mayatnya tak dapat di temukan, penyelidikan telah dihentikan” gerutu Polisi penyelam waktu itu.

Aku seorang anak bungsu dari tiga bersaudara, semuanya laki-laki. Kedua saudaraku entah kemana merantau. Sebelum keberangkatannya, abangku yang paling sulung mengatakan, jika mereka akan merantau ke Kalimantan, tapi sampai sekarang, belum pernah ada kabar. Entahlah, apakah sudah mati kelaparan, atau sudah menjadi durhaka pada ibuku.

Lima tahun aku mencoba melamar pekerjaan di kota ini, tapi belum ada satupun perusahaan yang mau menampungku. Mereka tidak menerima Tamatan SMA, ditambah lagi ijajah SMAku dari kampung. Kadang aku menjadi kuli bangunan, untuk menambah biaya hidup, tapi pekerjaan ini tak selamanya dapat kuandalkan. Setelah Selesai proyek aku kembali pengangguran, kemudian kembali terlunta-lunta menunggu kiriman.

“Kamu pulang saja ke Sumatra, di sana kamu bisa membuka lahan pertanian.” ucap sahabatku Muliono, teman sekosanku.

“Malu No!” ucapku lirih

“Apa tidak lebih malu, tinggal di kota besar, tapi gelandangan?” Kata-kata yang keluar dari mulut Muliono membuatku terdiam. kupertanyakan lagi pada diriku, berulang, tetapi tetap saja belum kudapatkan jawaban.

Sebenarnya nasibku dengan Muliono tidak jauh berbeda, hanya saja dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya, hingga gelar sarjana, namun untuk biaya hidup, dia bekerja sebagai pedagang asongan. pekerjaan itulah yang menjarah waktunya, hingga kuliahnya tersenggal-senggal.

“Berapa hektar tanah yang bisa kita garap?” Pertanyaan Muliono membuatku terhenyak, kucoba memikirkan apa yang dia katakan.

“Kita?”

“Ya kita!”

“Apa...?”

“Beasiswaku tak lama lagi, paling lama tahun depan. Padahal masih banyak mata kuliah yang belum kuselesaikan semester kemarin. Sekarang telah kuputuskan untuk berhenti kuliah saja. kau tau sendiri, untuk biaya hidup saja aku kadang kewalahan, apalagi harus membiayai kuliah.”

“Kedua orang tuamu?”

“Satu lagi yang ingin kukatakan, yang selama ini masih kurahasiakan. Kedua orang tuaku telah meninggal, saat gempa dan longsor mengubur desa dan tempat tinggalku.”

Hatiku seperti tersayat mendengar penuturan Muliono, tapi aku mencoba untuk tidak memperpanjang, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuatnya meratapi kembali kesedihan itu.

“Kalau soal tanah, belum pernah kuhitung berapa hektar. Tapi, jika kubayangkan, lebih luas dari luas tanah yang pernah kupijak di kota ini. Tapi…”

“Sudahlah, jauhkan saja rasa malumu itu. Kita masih muda! percuma kalau kita lewatkan dengan pekerjaan yang tak menentu seperti ini.”

“Baiklah saya pikir-pikir dulu. sekarang sudah larut malam, saku sudah ngantuk!” kutinggalkan Muliono di depan pelataran kosan itu.

Untuk membuat suatu keputusan, aku salut pada Muliono, tapi apa itu tidak terlalu terburu-buru? Mungkin saja ada orang yang bermurah hati, membiayai kuliahnya hingga dia mendapatkan gelar sarjana. tapi kalau dipikir-pikir, untuk jaman sekarang ini, sangat susah cari orang dermawan seperti itu.

Jika Muliono dapat memutuskan suatu keputusan yang begitu berat, mengapa saya tidak dapat mengenyampingkan rasa malu? Padahal keputusan itu tak sebanding dengan apa yang Muliono putuskan. Pikiran ini membuat mataku enggan terlelap hingga solat subuh berkumandang. Bersambung... Cerpen Anak Muda bag 2.

Cerpen Lainnya

Posting Komentar untuk "Cerpen Anak Muda bag 1"